Kamis, 25 Maret 2010

pentingnya kepentingan nasional dalam menghadapi ACFTA

Nama : Puri Indah Lestari

Npm : 10207858

Kelas : 2 EA 11

Dosen : Bpk Gatot

Tugas : Pendidikan Kewarganegaraan

TUGAS

Renegosiasi ACFTA: Kepentingan Nasional Harus Jadi Acuan

JAKARTA -- Perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area, ACFTA) yang melibatkan Indonesia dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2010 patut dicermati lagi oleh semua pihak.

“Ini mengingat efek dominonya sangat luar biasa,” kata Wakil Ketua Komisi VI (Perdagangan, Perindustrian, dan BUMN) DPR, Aria Bima, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, di Gedung DPR, Kamis (14/1/2010).



Dampak pelaksanaan ACFTA ini, menurut Aria Bima, lebih berbahaya daripada skandal Century. Sebab efeknya tak hanya sementara, melainkan bersifat permanen dan jangka panjang. Nilai kerugiannya pun bisa mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.


Lebih dari itu, dampaknya bukan saja bisa membuat gulung tikarnya industri nasional, merajalelanya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membengkaknya pengangguran, tapi juga semakin merosotnya kesejahteraan rakyat.


“Karena itu, kepentingan nasional atau national interest kita harus menjadi pertimbangan utama dalam renegosiasi ACFTA. Sebelum negosiasi ulang, implementasi ACFTA harus ditunda dulu. Jika tidak, kita belum selesai melakukan renegosiasi yang makan waktu lama, bisa-bisa industri nasional sudah lebih dulu tutup atau mati,” katanya.


Aria Bima menegaskan, pemerintah jangan ragu memperjuangkan kepentingan nasional di tengah arus globalisasi saat ini. Jangan karena sekadar ingin dinilai sebagai bangsa yang memegang teguh perjanjian internasional, namun kepentingan nasional justru dikorbankan dan industri dalam negeri hancur.


“Demi kepentingan nasional, Bung Karno dulu berani keluar dari PBB. Mengapa kita takut menunda atau bahkan menolak ACFTA?” kata politisi PDI Perjuangan ini.


Maka Aria Bima mendesak pemerintah, khususnya jajaran Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, untuk mengkaji untung-ruginya jika ACFTA terpaksa kita batalkan secara sepihak pelaksanaannya.


“Apa implikasinya bagi Indonesia? Apa akan dikenai sanksi oleh WTO atau dikucilkan dari perdagangan internasional? Tolong dikaji secara komprehensif. Kita harus berani memilih: kepentingan nasional atau ACFTA,” kata dia.


Rekomendasi

Sementara dalam kesimpulan rapatnya, Komisi VI DPR RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah menunda dan kemudian merenegosiasi ACFTA dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Ini demi menghentikan gejala deindustrialisasi yang selama lima tahun terakhir dialami Indonesia. “Mengingat masih banyak sektor industri dalam negeri yang belum siap menghadapi kesepakatan perjanjian perdagangan bebas, khususnya FTA dengan China,” tulis kesimpulan itu.


Komisi VI juga mendesak pemerintah segera mengkaji secara komprehensif kerugian dan keuntungan implementasi ACFTA bagi Indonesia. Bersamaan dengan itu, mereka juga mendesak pemerintah melakukan langkah-langkah konkret guna mendongkrak daya saing industri nasional, memperbaiki iklim usaha, dan mendayagunakan segala instrumen nontarif untuk melindungi industri dalam negeri.


Selain itu, Komisi VI juga mendesak pihak eksekutif meningkatkan koordinasi lintas sektoral maupun pemangku kepentingan, demi menyatukan persepsi dan langkah-langkah menghadapi era perdagangan bebas. Desakan ini muncul menyusul tidak sinkronnya pemaparan jajaran direktorat jenderal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian di depan Komisi VI DPR.


Di satu sisi, presentasi pihak Kementerian Perdagangan mengatakan, ACFTA akan meningkatkan arus dan volume perdagangan antara ASEAN dan China, serta membawa keuntungan bagi Indonesia. Namun pada saat yang sama, jajaran Kementerian Perindustrian justru mengemukakan belum siapnya industri dalam negeri menyongsong pasar bebas ASEAN-China.


Jajaran Kementerian Perindustrian juga menyatakan kekhawatirannya bahwa implementasi ACFTA bisa menghancurkan industri dalam negeri dan karena itu berarti meluasnya gejala deindustrialisasi atau tutupnya pabrik-pabrik di Indonesia. Gejala yang lazimnya disusul meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan

TULISAN 1

EKONOMI INDONESIA

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

TULISAN 2

Teroris Versi Amerika Stress Amerika

Kelompok-kelompok garis keras di AS menentang rencana sebuah organisasi Muslim Amerika yang akan menggelar kampanye tentang Islam selama bulan Ramadhan. Kelompok-kelompok itu menilai kegiatan tersebut sebagai bentuk baru serangan teroris di Amerika.

Islamic Circle of North Amerika-salah satu wadah warga Muslim Amerika-rencananya akan menggelar kampanye damai untuk memberikan informasi tentang Islam yang sebenarnya dan informasi tentang sosok Rasulullah Muhammad Saw, yang selama ini banyak disampaikan secara bias oleh media-media massa Barat. Kampanye itu dilakukan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan yang jatuh bulan September mendatang.

Mereka akan membuat poster-poster iklan tentang Islam serta tentang Nabi Muhammad Saw yang akan dipasang di jalur-jalur kereta bawah tanah di New York City sepanjang bulan Ramadhan.

Namun sejumlah kelompok di AS menentang kegiatan itu. Mereka mengatakan, promosi keIslaman yang dilakukan bertepatan dengan bulan saat terjadinya serangan 11 September yang menghancurkan menara kembar World Trade Center di New York, merupakan bentuk baru serangan teroris ke negara AS.

Stasiun Televisi Iran Dimasukkan Dalam Daftar Organisasi Teroris.

Anggota legislatif AS, Gus Bilirakis meminta agar Resolusi DPR AS nomor 1308 yang memuat daftar saluran televisi yang dianggap sebagai teroris diperluas cakupannya. Bilirakis meminta sejumlah saluran televisi baru dimasukkan ke dalam daftar tersebut.

Saluran TV yang diusulkan Bilirakis antara lain, saluran televisi Iran Press TV dan Al-Alam. Ia menilai kedua stasiun televisi itu masuk dalam katagori organisasi-organisasi teroris atau yang oleh AS disebut dengan istilah “Specially Designated Global Terrorist” (SDGT)

Resolusi 1308 diberlakukan sejak 26 Juni lalu untuk lembaga-lembaga penyiaran di Timur Tengah yang oleh DPR AS dianggap menghasut orang agar melakukan kekerasan terhadap AS. Dan menurut Bilirakis, stasiun-stasiun televisi Iran masuk dalam katagori itu karena menyiarkan liputan-liputan tentang aksi unjuk rasa dan pidato-pidato dari pada pemimpin, ulama, anak-anak dan pemirsa di Iran yang mengutuk Amerika.

“Mereka mengatakan ‘Death to America’ dan menyiarkan pernyataan-pernyataan yang mendorong orang melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang Amerika, ” kata Bilirakis.

Ia beralasan, jika jaringan-jaringan lembaga penyiaran semacam itu tidak dihentika, bisa mengakibatkan makin meningkatnya resiko radikalisasi dan perekrutan warga Amerika ke dalam organisasi-organisasi teroris.

Press TV, stasiun televisi berbahasa Inggris milik Iran, menjadi stasiun televisi yang cukup diperhitungkan dalam liputan-liputan berita dan acara-acara dialognya, antara lain acara Four Corners, Middle East Today dan Fine Print. Stasiun televisi ini juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengutarakan pandangannya yang berbeda dengan pandangan pemerintah Iran. Para narasumber yang dihadirkan juga berimbang, mulai dari mereka yang pro-AS dan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah Iran.

Tindakan AS memasukkan stasiun televisi Iran ke dalam kelompok organisasi teroris berdasarkan Resolusi 1308, dipastikan akan menuai kecaman dari berbagai organisasi hak asasi manusia. Mereka sejak lama menganggap Resolusi sebagai contoh nyata dari kebijakan sensor AS yang melanggar prinsip kebebasan berbicara.

Dari dulu,

Negara Amerika Serikat tak henti-hentinya berupaya memojokkan negara Iran. Pemerintah AS membenarkan bahwa pihaknya akan menetapkan Pasukan Garda Revolusi Iran-pasukan elit Iran-sebagai kelompok teroris.

Sejumlah analis mengatakan, tindakan AS itu menunjukkan betapa frustasinya AS karena gagal menghentikan program nuklir Negara Para Mullah itu. Sementara kementerian luar negeri Iran menyebut rencana AS tersebut sebagai “propaganda yang sia-sia. “

Pengamat masalah Iran Trita Parsi mengatakan, rencana AS memasukkan pasukan elit Iran dalam daftar kelompok terorisme, bersamaan waktunya saat pemerintahan Bush meminta bantuan Iran untuk menstabilkan situasi di Irak. Ini artinya, proses diplomasi AS dengan Iran tidak akan sukses, karena pada saat yang sama AS menetapkan partner diplomasinya sebagai teroris.

Dengan memasukkan Pasukan Garda Revolusi Iran ke dalam daftar kelompok teroris, maka pemerintahan Bush dengan leluasa bisa membatasi bisnis, termasuk melarang perusahaan-perusahaan yang bukan berasal dari AS untuk berbisnis dengan berbagai institusi keuangan milik pasukan elit Iran tersebut.

Pemerintah Bush rencananya secara formal akan menetapkan Pasukan Garda Revolusi Iran sebagai kelompok teroris, sebelum pertemuan Dewan Umum PBB bulan September mendatang.

Dalam pertemuan itu, AS juga berniat untuk mendesak Dewan Keamanan agar menyiapkan resolusi baru buat Iran, karena menolak menghentikan pengayaan uraniumnya. Meskipun, rencana itu kemungkinan akan mendapat hambatan dari China dan Rusia.

Rencana AS memasukkan pasukan elit Iran ke dalam daftar terorisnya, baru kali ini dilakukan AS. Sebelumnya, AS sudah memasukkan sejumlah individu, organisasi sosial, perusahaan dan organisasi massa ke dalam daftar kelompok terorisnya, antara lain Hizbullah, al-Qaidah, Hamas dan Jihad Islam.

AS Danai Kelompok Jundullah untuk Ganggu Stabilitas Iran

Mantan Kepala Angkatan Bersenjata Pakistan, Jenderal Mirza Aslam Baig mengungkapkan peran AS dalam upaya mengganggu stabilitas di dalam negeri Iran. Pensiunan Jenderal itu mengatakan, AS memberikan bantuan pada Jundullah, salah satu kelompok yang didanai AS mengganggu ketentraman negara Iran.

Jundullah adalah kelompok teroris yang dipimpin oleh Abdolmalek Rigi dengan wilayah operasi di Baluchistan Iran dan Baluchistan Pakistan. Menurut Jenderal Baig, AS menyediakan fasilitas latihan untuk anggota kelompok Jundullah di kawasan timur Iran. Tugas kelompok itu adalah mengganggu stabilitas negara Iran dan hubungan antara Iran dan negara tetangganya, Pakistan.

Lebih lanjut Jenderal Baig seperti dilansir surat kabar Pakistan Daily mengungkapkan bahwa agen-agen intelejen dari pasukan koalisi pimpinan AS sangat aktif di Afghanistan dan melakukan berbagai upaya untuk menimbulkan kekacauan di Iran, Pakistan, China dan wilayah Rusia.

Iran dan Pakistan saat ini dalam kepungan konspirasi negara-negara Barat, ” tukas Jenderal Baig.

Oleh sebab itu, Baig setuju dengan keputusan Islamabad untuk menyerahkan anggota-anggota Jundullah yang tertangkap di Pakistan kepada Iran, karena mereka yang melakukan tindakan yang merugikan negara Iran maupun Pakistan harus ditindak tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar